TIMES BATU, MALANG – Menjadi seorang khalifah adalah fitrahnya manusia. Khalifah dari segi bahasa artinya pengganti yang datang sesudah, dalam hal datang atau pengganti Nabi Muhammad SAW. Secara pemaknaan bahwa selama bumi ini masih berputar artinya selalu ada khalifah fil Ardhi (wakil tuhan di bumi) untuk memimpin, mengelola dan mengatur bumi.
Jika Khulafaur Rasyidin Abu Bakar rela berkorban, baik harta maupun jiwanya untuk menyebarkan risalah dakwah. Sedangkan Umar bin Khattab dengan sikap pemberani, tegas, selalu bersikap adil serta hidup dalam kesederhanaan. Dan sikap kedermawanan Utsman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib dengan kecerdasannya. Maka A.M. Sangadji rela keluar dari zona nyaman dan berani menaruh nasib kepemimpinannya dengan turun ke gelanggang pertempuran meninggalkan kesempatan menjadi raja.
A.M. Sangadji merupakan representasi satu dari sekian khalifah fil ardhi abad 20 asal Maluku yang menjalankan misi kepemimpinan Indonesia merdeka mulai dari pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Nilai-nilai kepemimpinan yang dibawa A.M. Sangadji telah mencerminkan sosok khalifah fil ardhi atau wakil tuhan di bumi yaitu membebaskan kaum tertindas dalam hal ini melawan kolonialisme.
Menjalankan peran sebagai khalifah bukanlah hal yang mudah, Butuh kekuatan iman dan kecakapan ilmu yang cukup, sebab selalu ada tantangan dan cobaan dalam menjalaninya. Sebagaimana yang tertuang dalam Qs Al Hijr ayat 39 “aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang indah perbuatan maksiat di bumi. Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua kecuali hamba-hamba yang mukhlis.”
Dimana kunci menjadi seorang yang mukhlisin adalah iman dan ilmu.
Setiap dari manusia adalah pemimpin dan setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Berlandaskan ayat 30 Al-Baqarah, tujuan utama penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah menjadi khalifah (pemimpin, pengelola, manajer) di bumi. Dengan demikian khalifah merupakan sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT.
Dalam melaksanakan peran sebagai khalifah, manusia harus berikhtiar melakukan perubahan sesuai dengan misi yang diemban oleh para nabi, yaitu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) yaitu salah satunya istiqomah melakukan perjuangan untuk membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin).
Tentunya jalan juang yang dilalui A.M. Sangadji bukanlah hal yang mudah dan tidak sedikit pemimpin yang memilih berada dalam jalan juang seperti itu yakni rela berkorban meninggalkan zona nyaman atas kemewahan segala fasilitas kekuasaan yang mungkin bisa digunakan untuk kepentingan individunya. Berbeda halnya dengan para pemimpin kita hari ini yang cenderung tidak menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan umat melainkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Menolak Menjadi Raja
Pada tahun 1930-an, A.M. Sangadji diminta oleh ayahandanya Raja Abdoel Wahab Sangadji untuk kembali ke Ambon demi menjadi raja, beliau menolak tawaran itu dan memberi saran kepada ayahnya agar menunjuk saudaranya Abdoellah Sangadji yang saat itu menjabat asisten wedana Karesidenan Kutai Kartanegara untuk pulang menjadi raja.
"Lebih baik berjuang untuk Indonesia merdeka daripada pulang menjadi raja," begitulah kalimat yang dilontarkan A.M. Sangadji ketika diminta oleh ayahandanya Raja Abdoel Wahab Sangadji untuk kembali ke Ambon menjadi raja.
Abdul Muthalib Sangadji atau lebih dikenal A.M. Sangadji yang dijuluki Jagoe Toea adalah satu dari para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia era tahun 1920-an dari Maluku. Ia lahir 3 Juni 1889 di Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Darah yang mengalir dari tubuh A.M. Sangadji adalah darah seorang raja Negeri Rohomoni Abdoel Wahab Sangadji dan ibu A.M. Sangadji juga merupakan putri Raja Negeri Siri Sori Islam, Siti Saat Pattisahusiwa.
Bukan tanpa alasan, sikap A.M. Sangadji untuk tidak kembali ke ambon menjadi raja. Hal ini dikarenakan melihat kondisi bangsa Indonesia yang masih terjajah, sehingga mengharuskan beliau untuk tetap berada dekat di gelanggang pertempuran serta bisa leluasa dalam memperjuangkan misi Indonesia merdeka.
Penolakan A.M. Sangadji menjadi representasi khalifah (pengganti yang datang sesudah). Kesemuanya itu dilakukan sebagai bentuk ikhtiar melaksanakan perannya sebagai khalifah.
Representasi dalam hal ini dapat dilihat pada nilai juang yang diemban oleh A.M. Sangadji ketika menjalankan misi kepemimpinan menuju Indonesia merdeka dengan terlibat secara langsung. Nilai juang yang dimaksud adalah sikap rela berkorban, keberanian, kesederhanaan dan kecerdasan yang beliau tumpah ruah kan dalam melawan kolonialisme.
Hal inilah kemudian menjadi legasi bahwa jalan juang kepemimpinan A.M. Sangadji menuju Indonesia merdeka adalah berani berkorban meninggalkan zona nyaman dalam melawan kezaliman dan kemungkaran kolonialisme. Tentunya jalan juang ini selaras dengan jiwa kepemimpinan sejati yakni khalifah fil ardhi yaitu membawa perubahan guna mewujudkan cita-cita sesuai misi yang diemban oleh para nabi serta khulafaur rasyidin dalam memimpin, mengelola dan mengatur pemerintahannya.
Pemimpin Sejati dan Pejuang Perintis Kemerdekaan
"Een Leidersweg is een Lijdensweg, Leiden is lijden!" Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita. Pepatah kuno Belanda yang dipetuahkan oleh Haji Agus Salim, salah satu tokoh pejuang nasional dan diplomat ulung yang sangat disegani dengan kesederhanaanya.
“Leiden is lijden” Pepatah kuno tersebut telah ditorehkan langsung oleh sahabat karibnya Jagoe Toea sapaan julukan A.M.
Sangadji, pahlawan perintis kemerdekaan keturunan ningrat asal Maluku dalam misi kepemimpinannya. "Lebih baik berjuang untuk Indonesia merdeka daripada pulang menjadi raja," disaat A.M. Sangadji diperhadapkan dengan dua pilihan antara pulang dan menjadi raja atau tetap berada dalam gelanggang pertempuran melawan penjajah. A.M. Sangadji bisa saja memilih untuk pulang menjadi raja dan hidup tenang dan menikmati sisa hidupnya dengan nyaman, namun yang dilakukan justru sebaliknya ikut turun ke gelanggang pertempuran melawan penjajah.
A.M. Sangadji telah mengajarkan kita bahwa pemimpin adalah dekat dengan penderitaan, berani berkorban meninggalkan zona nyaman. Pemimpin adalah pencipta harapan, pemandu perubahan. Menjadi seorang pemimpin tidak harus memegang jabatan struktural, sebab setiap diri manusia adalah pemimpin, dan setiap diri manusia itu bertanggung jawab atas amanah yang diemban "Khalifah fil ardhi."
Tentunya dengan melihat cara kepemimpinan hari ini yang cenderung mementingkan diri sendiri (individualistik), memperkaya diri (kapitalistik) telah membawa kita jauh dari misi Khalifah fil ardhi itu sendiri. Ketika para pendiri bangsa berjuang dengan seluruh tumpah darahnya untuk memperoleh kemerdekaan sebaliknya tidak sedikit pemimpin kita hari ini yang seharusnya mengisi kemerdekaan dengan hikmat kebijaksanaan malah menjadi thaghut (mengerjakan sesuatu yang melanggar perintah Allah SWT).
Secara jelas, A.M. Sangadji menunjukkan kepada kita bahwa kepemimpinan sejati tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan Amaliah yang konkrit.
Nilai-nilai kepemimpinan itu dibuktikan langsung oleh A.M Sangadji dengan memutuskan untuk hijrah ke pulau Jawa hingga Kalimantan sebagai bentuk ikhtiar melawan penjajah demi meraih kemerdekaan, membawa kabar kemerdekaan ke pelosok negeri. Berbeda jauh dengan para pemimpin kita hari ini yang hanya muncul ke permukaan pada saat kegiatan seremonial atau pada masa kampanye.
Sejarah mencatat bahwa A.M Sangadji adalah tokoh pejuang kemerdekaan yang dimulai dari periode sejarah pergerakan nasional, periode revolusi kemerdekaan, bersama-sama dengan rekan-rekannya yaitu H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang dimana mereka mendapatkan julukan Trio SI : Tjokro-Salim-Sangadji sebutan yang disematkan Mr. Moehammad Roem.
Dimana mereka bertiga menjadi aktor utama A.M pendiri Sarikat Islam yang sebelumnya Sarikat Dagang Islam.
Dikutip dari beberapa surat kabar di ibukota Republik, Heidelberg Kalimantan, Merdeka Solo sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M.
Sangadji disebut sebagai pemimpin tua “Jagoe Toea”, hal ini pun diketahui oleh Belanda dan Jepang. Sangadji pun terlibat dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928, yang dimana kongres itu mencetus Sumpah Pemuda.
Jagoe Toea memiliki mobilitas bukan hanya di Maluku melainkan pernah berkiprah di Borneo, hingga beberapa daerah di Jawa. Hal ini ditandai dengan beberapa nama jalan di kota-kota besar seperti Jogja, Solo, Jakarta dan monumen beliau di kutai kartanegara, tenggarong. Hingga pada tahun 1947 beliau wafat setelah memimpin Tentara Hizbullah karena ditembak militer saat Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta.
Pastinya cara kepemimpinan seperti ini bukanlah hal yang mudah dalam menjalaninya, butuh spirit juang, keleluasaan hati serta kepekaan yang dibalut dengan keimanan dan keilmuan yang kokoh. Semoga perjalanan kepemimpinan Jogoe Toea ini dapat menjadi refleksi bagi kita dalam menjalankan misi sebagai khalifah fil ardhi.
***
*) Oleh: Ismail Mony, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : |